Hanya Sebuah Tulisan dari “Penonton” Setia Tradisi
Terkadang sebuah kesan baik yang selama ini anda dapatkan..
Suatu saat nanti, cepat atau lambat, akan ada suatu perbuatan…
Perbuatan yang mana akan mengubah kesan itu menjadi buruk dan akan terus membekas mengalahkan yang baik-baik itu…
Senin, 12 Desember 2016… saat itu adalah salah satu hal membuat kesan baik itu mulai berubah. Saya paham tulisan ini sangatlah subyektif karena saya melihat dari sudut pandang pribadi dan saya sendiri yang melihatnya. Mungkin dengan saya menceritakan hal ini dapat membuat anda semakin waspada. Karena semuanya kembali pada para pembaca masing-masing.
Setelah sekian lama saya tidak men”cuci mata” melihat tradisi yang selalu diselenggarakan keraton sebagai puncak peringatan Sekaten. Saya selalu kangen dengan derap langkah prajurit dimana masih ada dari mereka yang tetap bertugas walaupun sudah tidak gagah lagi, momen di mana beberapa gajah dan kuda ikut diarak sampai-sampai suara tembakan salvo mengangetkan mereka, dan juga melihat gunungan berwarna-warni yang di depannya selalu berbaris orang-orang berbeskap putih yang merupakan petinggi-petinggi kraton.
Kedengarannya sakral dan khidmat, ya. Tapi saya sebagai “penonton” setia upacara ini agak kecewa dengan kejadian yang saya alami.
Pukul 09.30, saya baru saja sampai di keraton. Bangsal Pagelaran dan jalur-jalur yang akan dilewati gunungan telah dipenuhi banyak orang. Saya senang melihat antusiasme mereka begitu besar. Lagipula, ini juga dalam rangka liburan (yang beberapa orang dianggap libur panjang padahal hanya tiga hari). Saya mencari tempat yang saya rasa bisa melihat arak-arakan nanti. Tibalah di suatu spot.
Di sini mulailah hal-hal yang tidak dienakkan terjadi.
Ketika para prajurit mulai memasuki bangsal pagelaran. Muncul mobil-mobil dari mobil tangki air sampai mobil polisi. Pengemudinya sepertinya sengaja memepetkan mobilnya di jalan sehingga kita disuruh mundur. Mundurrr terus. Kalau masalah disuruh mundur itu memang sudah biasa dan masih bisa saya terima. Tetapi yang menjadi masalah adalah orang yang suruh mundur itu tidak santai. Di belakang ada seorang penjual yang kompornya baru saja mati karena tidak sengaja jatuh. Kemudian, munculah penjaga keamanan yang “kesetanan” karena kepanasan atau apa. Dia teriak-teriak minta mundur dengan penuh emosi. Penjual itupun juga tersulut emosinya tetapi hanya menegur si penjaga itu.
Sebelum arak-arakan terlihat olehku, tak sengaja saya merasa saku kiri saya ada yang “mengowah-owah”. Beruntung isinya tidak ada apa-apa. Saya menoleh belakang dan ternyata orangnya adalah bapak-bapak bertopi, berjaket dengan kaos merah, dan menggunakan masker. Saya kemudian mulai mengamankan tasku yang memang dari awal saya taruh depan. Kemudian bapak itu mulai mengincar tas ibu-ibu di depan saya. Ia mulai pindah posisi di belakang si ibu. Sebelum tangannya meraih tas ibu itu, tangan kanan saya yang semula “sedakep” saya “buang” supaya menutup jalan tangan si bapak itu. Menyadari hal itu, si bapak ini jongkok sebentar seperti kelelahan lalu pergi. Kejadian ini sebenarnya sudah sangat biasa terjadi tapi saya baru pertama kali melihat kejadiannya sendiri.
Tak hanya itu, ada hal lain yang membuat saya benar-benar terkejut. Yaitu tibanya Bregada Prajurit Wirobrojo, si Lombok Abang alias Cabe Merah. Ketika mulai menempatkan posisi mereka, saya merekam kejadian itu namun sayang memori handphone tak cukup. Salah seorang petinggi prajurit itu mengarahkan pedangnya ke tiang kayu stand seorang penjual es dan menggores-goreskannya (atau apalah namanya). Penjual ini lokasi standnya berada di sebelah penjual yang sebelumnya diceritakan. Mata beliau melotot dan memarahi penjual itu. Si penjual yang ramah hanya tetap tersenyum kepada beliau. Saya yakin pasti mereka adalah orang yang baik, tapi siapa pula orang yang tidak tersulut emosinya kalau cuaca sedang panas?
Tapi dibalik kesan buruk itu semua, saya dapat acungi jempol untuk paramedis yang sudah memberikan treatment kepada salah seorang prajurit yang tadi kelelahan (bahkan ada yang bilang pingsan, saya tidak tinggi sehingga tidak kelihatan :”) ).
Entah apakah saya yang sudah lama tidak melihat acara itu atau budaya berubah sedemikian cepatnya sehingga saya merasa sudah tidak nyaman lagi. Bagi kalian yang merupakan seorang pengunjung yang ingin melihat upacara garebeg ketika sekaten. Jagalah betul-betul barang bawaan anda. Jelas banyak sekali ditemukan dompet yang tak berisi uang yang diumumkan center silih berganti. Saya sarankan anda masuk ke keratonnya dan di sanapun ada nilai plusnya sendiri, seperti bisa duduk dan “ngadem”, anda dimanjakan dengan pertunjukan para penari. Namun apabila memang tujuan awal anda adalah untuk mengambil berkah, carilah spot di mana gunungan itu akan dituju. Di Masjid Agung Kauman, Pakualaman, atau Kantor Kepatihan. Kalau terpaksa terlambat dan dapat tempat seperti saya memang harus sabar dan harus ekstra waspada.
Kalau masukan bagi penyelenggara acara saya hanya bisa mengatakan, kalau tau itu nanti buat jalan, ketapa tidak dipagari? Bisa dipagari dengan kayu-kayu dan diberi pemberitahuan jarak penjual di jalan itu kira-kita berapa supaya aman dan kalau berdesak-desakanpun tidak berisiko. Untuk keamanan, mungkin perlu adanya aparat yang berjaga di daerah penonton, jangan hanya di depan untuk memberi jalan saja. Dan mereka dengan mudahnya memberikan akses wartawan yang tidak punya kartu pers masuk dalam barisan seperti kelihatan mudah untuk bisa memotret dari depan apabila saya bawa kamera fotografi dan bilang saya wartawan kepada penjaganya (ini sebenarnya curhat wkwk).
Saya tidak akan berpendapat lebih jauh lagi. Terlebih ilmu saya masih dangkal dan bila berpendapat masih sangat subyektif. Ya seperti tuisan ini. Monggo bila ada yang bersedia mengoreksi tulisan saya ini.
*gambar yang jadi illustrasi saya ambil ketika Garebeg Idul Adha dimana Alun-alun Utara tidak sesesak ketika Garebeg Mulud. Bapaknya juga beda kok wkwkk